Senin, 13 Januari 2020

Cara Pembuatan Salep Ditinjau dari Khasiat Utamanya

Cara pembuatan salep ditinjau dari khasiat utamanya dapat dibagi menjadi beberapa bagian :
Pembuatan sediaan salep
Skema ca pembuatan sediaan salep dengan zat tertentu.

Zat padat

a. Zat padat dan larut dalam dasar salep.

1. Camphorae
  • Dilarutkan dalam dasar salep yang sudah dicairkan di dalam pot salep tertutup (jika tidak dilampaui daya larutnya).
  • Jika dalam resepnya terdapat minyak lemak (Ol. Sesame), camphorae dilarutkan lebih dahulu dalam minyak tersebut.
  • Jika dalam resep terdapat salol, mentol, atau zat lain yang dapat mencair jika dicampur (karena penurunan titik eutektik), Camphorae dicampurkan agar mencair, baru ditambahkan dasar salepnya.
  • Jika camphorae itu berupa zat tunggal, camphorae ditetesi lebih dahlu dengan eter atau alcohol 95%, kemudian digerus dengan dasar salepnya.
2. Pellidol
  • Larut 3% dalam dasar salep, pellidol dilarutkan bersama sama dengan dasar salepnya yang dicairkan (jika dasar salep disaring, pellidol ikut disaring tetapi jangan lupa harus ditambahkan pada penimbangannya sebanyak 20%).
  • Jika pellidol yang ditambahkan melebihi daya larutnya, maka digerus dengan dasar salep yang sudah dicairkan.
3. Lodium
  • Jika kelarutannya tidak dilampaui, kerjakan seperti pada camphorae
  • Larutkan daalam larutan pekat KI atau NaI (seperti pada Unguentum Iodii dari Ph. Belanda V).
  • Ditetesi dengan etanol 95% sampai larut, baru ditambahkan dasar salepnya.

b. Zat padat larut dalam air

1. Protargol (argentum proteinatum)
  • Larut dalam air dengan jalan menaburkan diatas air kemudian didiamkan selama 15 menit ditempat gelap.
  • Bila dalam resep terdapat gliserol, maka Protargol digerus dengan gliserin baru ditambah air, dan tidak perlu ditunggu 15 menit (gliserol mempercepat daya larut protargol dalam air).
2. Colargol (argentum colloidale)
Sama dengan Protargol dan air yang dipakai 1/3 kalinya.
3. Argentums nitrat (AgN03)
Zat ini tidak boleh dilarutkan dalam air karena akan meninggalkan bekas noda hitam pada kulit yang disebabkan oleh terbentuknya Ag2O3, kecuali pada resep obat wasir.
4. FenoI/fenol
Fenol dalam salep tdak dilarutkan karena akan menimbulkan rangsangan atau mengiritasi kulit dan juga tidak boleh diganti dengan penoI liquidfactum.

c. Bahan obat yang larut dalam air tetapi tidak boleh dilarutkan dalam air

Bahan obat yang larut dalam air tetapi tidak boleh dilarutkan dalam air, yaitu :
  • Argentums nitrat
  • Fenol
  • Hydrargyri bichloridum Chrysarobin
  • Pirogalol
  • Stibii et kaIii tartrans
  • OIeumiocoris aseIIi
  • Zinc sulfat
  • Antibiotik (misalnya penisilin)
  • Chloretum auripo natrico
Bahan yang ditambahkan terakhir pada suatu massa salep:
  1. Ichtyol
  2. Balsam balsem dan minyak yang mudah menguap
  3. Air
  4. Gliserin
  5. Marmer album serta zat padat tidak larut dalam air
Penjelasan :
  • Ichtyol, sebab jika ditambahkan pada masa salep yang panas atau digilas terlalu lama dapat terjadi pemisahan.
  • Balsem balsem dan minyak atsiri, balsem merupakan campuran dari damar dan minyak atsiri, jika digerus terlalu lama akan keluar damarnya sedangkan minyak atsiri akan menguap.
  • Air, berfungsi sebagai pendingin dan untuk mencegah permukaan mortir menjadi licin.
  • Gliserin, harus ditambahkan kedalam dasar salep yang dingin, sebab tidak bias campur dengan bahan dasar salep yang sedang mencair dan ditambahkan sedikit sedikit sebab tidak bias diserap dengan mudah oleh dasar salep.

d. Zat Cair (Sebagai pelarut bahan obat)

1. Air
  • Terjadi reaksi
    Contohnya, jika aqua calcis bercampur dengan minyak lemak akan terjadi penyabunan sehingga cara penggunaannya adalah dengan diteteskan sedikit demi sedikit kemudian dikocok dalam sebuah botol bersama dengan minyak lemak, baru dicampur dengan bahan lainnya.
  • Tak terjadi reaksi
    a. Jumlah sedikit : teteskan terakhir sedikit demi sedikit
    b. Jumlah banyak : diuapkan atau diambil bahan berkhasiatnya saja dan berat airnya diganti dengan dasar salepnya
2. Spiritus/etanol/alcohol
  • Jumlah sedikit : teteskan terakhir sedikit demi sedikit
  • Jumlah banyak :
    – Tahan panas : Tinct. Ratanhiae, panaskan diatas tangas air sampai sekental sirop atau sepertiga bagian.
    – Tak tahan panas :
    · Diketahui pembandingnya, maka diambil bagian bagiannya saja, misalnya tinct. lodii
    · Tak diketahui pembandingnya, teteskan terakhir sedikit demi sedikit.
    · Jika dasar salep lebih dari 1 macam, harus diperhitungkan menurut perbandingan dasar salepnya.
3. Cairan kental
Umumnya dimasukkan sedikit demi sedikit. Contohnya: gliserin, pix lithantratis, pix liquida, balsam peruvianum, ichtyol, kreosot. Bahan berupa ekstak/extraktum
  • Extraktum siccum/kering
    Umumnya larut dalam air, maka dilarutkan dalam air, dan berat air dapat dikurangkan dari dasar salepnya
  • Exractum spissum/kental
    Diencerkan dahulu dengan air atau etanol
  • Extractum liquidum
    Dikerjakan seperti pada cairan dengan spiritus.
Bahan bahan lain :
  • Hydrargyrum
    Gerus dengan adeps lanae dalam lumpang dingin, sampai halus (<20ug) atau gunakan resep standar, misalnya: Unguentum hydrargyri (Ph. Belanda V) yang mengandung 30% dan Unguentum Hydrargyri Fortio (C.M.N) mengandung 50%.
  • Naphtolum
    Dapat larut dalam sapo kalicus, larutkan dalam sapo tersebut. Jika tidak ada sapo, dikerjakan seperti Camphorae. Mempunyai D.M/T.M untuk obat luar.
  • Bentonit
    Serbuk halus yang dengan air akan membentuk massa seperti salep.

Kriteria Dasar Salep yang Ideal

Suatu dasar salep yang ideal mempunyai sifat-sifat sebagai berikut :
  1. Tidak menghambat proses penyembuhan luka/penyakit pada kulit tersebut.
  2. Di dalam sediaan secara fisik cukup halus dan kental.
  3. Tidak merangsang kulit.
  4. Reaksi netral, pH mendekati pH kulit yaitu sekitar 6-7.
  5. Stabil dalam penyimpanan.
  6. Tercampur baik dengan bahan berkhasiat.
  7. Mudah melepaskan bahan berkhasiat pada bagian yang diobati.
  8. Mudah dicuci dengan air.
Masalah inkompatibilitas obat (tidak tercampurkannya suatu obat), yaitu pengaruh pengaruh yang terjadi jika obat yang satu dicampurkan dengan yang lainnya. Inkompatibilitas obat dapat dibagi atas 3 golongan :
1. Inkompatibilitas terapeutik.
Inkompatibilitas golongan ini mempunyai arti bahwa bila obat yang satu dicampur/dikombinasikan dengan obat yang lain akan mengalami perubahan perubahan demikian rupa hingga sifat kerjanya dalam tubuh (in vivo) berlainan daripada yang diharapkan.
Hasil kerjanya kadang kadang menguntungkan, namun dalam banyak hal justru merugikan dan malah dapat berakibat fatal. Sebagai contoh: Absorpsi dari tetrasiklin akan terhambat bila diberikan bersama-sama dengan suatu antasida (yang mengandung kalsium, aluminium, magnesium atau bismuth).
Fenobarbital dengan MAO inhibitors menimbulkan efek potensiasi dari barbituratnya. Kombinasi dari quinine dengan asetosal dapat menimbulkan chinotoxine yang tidak dapat bekerja lagi terhadap malaria.
Mencampur hipnotik dan sedatif dengan kafein hanya dalam perbandingan yang tertentu saja rasionil. Pun harus diperhatikan bahwa mengkombinasikan berbagai antibiotik tanpa indikasi bakteriologis yang layak sebaiknya tidak dianjurkan.
2. Inkompatibilitas fisika.
Yang dimaksudkan di sini adalah perubahan-perubahan yang tidak diinginkan yang timbul pada waktu obat dicampur satu sama lain tanpa terjadi perubahan-perubahan kimia. Meleleh atau menjadi basahnya campuran serbuk.
Tidak dapat larut dan obat-obat yang apabila disatukan tidak dapat bercampur secara homogen. Penggaraman (salting out). Adsorpsi obat yang satu terhadap obat yang lain.
3. Inkompatibilitas kimia
Yaitu perubahan-perubahan yang terjadi pada waktu pencampuran obat yang disebabkan oleh berlangsungnya reaksi kimia/interaksi. Termasuk di sini adalah reaksi reaksi di mana terjadi senyawa baru yang mengendap.
Reaksi antara obat yang bereaksi asam dan basa. Reaksi yang terjadi karena proses oksidasi/reduksi maupun hidrolisa. Perubahan perubahan warna, Terbentuknya gas dll

Tidak ada komentar:

Posting Komentar